Senin, 04 Juni 2012

Minat, Kebiasaan, dan Budaya Baca



Faktor yang menjadi pendorong atas bangkitnya minat baca ialah ketertarikan, kegemaran dan hobby membaca, dan pendorong tumbuhnya kebiasaan membaca adalah kemauan dan kemampuan membaca. Berseminya budaya baca adalah kebiasaan membaca, sedangkan kebiasaan membaca terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai, baik jenis, jumlah, maupun mutunya. Inilah sebuah formula yang secara ringkas untuk mengembangkan minat dan budaya baca. Dari rumusan  konsepsi tersebut tersirat tentang perlunya minat baca itu dibangkitkan  sejak usia dini (kanak-kanak). Hal itu dimulai dengan bentuk-bentuk huruf dan angka pada masa pendidikan prasekolah hingga mantapnya penguasaan membaca-menulis-berhitung pada awal pendidikan disekolah dasar. Perlu dicatat bahwa dalam dunia belajar  modern setiap anak mulai diajarkan  dengan bentuk bentuk huruf dan tanda-tanda  yang mempunyai arti tertentu. Dalam  hal itu dan lebih baik lagi kalau si-anak tersebut mulai menyadari bahwa rangkaian  huruf-huruf itu  mempunyai sesuatu cerita yang menarik, maka tentu akan mendorongnya untuk berkenalan dengan kata kata dan selanjutnya berniat untuk dapat berkata.
            Kita sudah memasuki milenium ketiga yang sering disebut abad informasi. Suatu abad dimana informasi diproduksi secara besar-besaran dan didistribusikan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai media cetak dan elektronik. Tetapi kita masih berbicara tentang perlunya ditumbuhkan minat, kebiasaan, dan budaya baca. Suatu kesenjangan yang sangat mencolok. Sementara dalam sejarah kehidupan  manusia telah membuktikan betapa pesatnya kemajuan sejak  tradisi lisan beralih kepada tradisi tulisan dan persebaran naskah tulisan makin meluas. Terutama setelah ditemukan kertas dan dilanjutkan dengan penemuan mesin cetak. Tradisi baca-tulis semakin berpengaruh terhadap perubahan ketika naskah diproduksi dengan  mesin cetak dan digandakan berupa buku dan terbitan-terbitan lain, sehingga persebaran dan pemakaiannya tidak lagi menjadi status sosial kalangan terbatas. Kita seharusnya dapat belajar banyak dari pengalaman tersebut. Perpustakaan mulai tumbuh untuk melayani masyarakat yang tidak mampu atau tidak merasa perlu  mengoleksi buku-buku secara pribadi. Kondisi itu sangat menolong anggota masyarakat yang menghadapi keterbatasan sosial ekonomi.
            Kita selalu menyatakan mengutamakan ikhtiar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mempersoalkan sejauh mana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mempersoalkan sejauh mana minat baca telah berkembang, dan membahas upaya  bagaimana masyarakat  mengembangkan berbudaya membaca. Sudah banyak waktu, energi, perhatian dan modal yang dikeluarkan. Namun segalanya itu tidak mungkin terlepas dari kenyataan sebagai pijakan untuk mengambil langkah-langkah kongkret lebih lanjut. Kelihatannya budaya membaca baru menggejala di kalangan sangat terbatas di dalam masyarakat kita, sehingga membaca buku terkesan “privilese” bagi kalangan tertentu. Sementara semua orang menmyadari bahwa meningkatkan arus informasi secara kualitatif dewasa ini. Perbedaan kesempatan untuk memperoleh informasi dapat berakibat kesenjangan yang membedakan masyarakat menjadi dua golongan, yaitu antara warga yang diuntungkan  oleh kemudahan dan keluasan akses terhadap informasi, dan mereka yang dirugikan  karena sangat terbatasnya akses itu. Kesenjangan atau ketimpangan akses tersebut sebagai konsekuensi  atas perbedaan akses mendapatkan informasi akan merupakan beban yang amat menghambat kemajuan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu kesungguhan kita untuk membangun masyarakat yang berbudaya baca mestinya ditunjang oleh meningkatnya ketersediaan bahan bacaan yang memadai, makin efektif dan efisiensinya fungsi perpustakaan.

Tidak ada komentar: